Minggu, 23 Desember 2012

Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaaf, Waliyullah Dengan Empat Pesan

1 komentar

Beliau dikenal sebagai salah seorang ulama besar di Palembang. Banyak ulama dari berbagai penjuru Nusantara mengaji kepada beliau.
Ada pendapat, Palembang bisa di ibaratkan sebagai Hadramaut (markas para Habib dan Ulama besar). Sebab di Palembang memang banyak Habib dan Ulama besar, demikian pula makam-makam mereka. Salah seorang diantaranya adalah Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaaf, yang juga dikenal sebagai wali masthur. Iaitu wali yang karamah-karamahnya tersembunyi. Padahal karamahnya cukup banyak.
Salah satu karamahnya ialah ketika beliau menziarahi orang tua beliau (Habib Hamid Al-Kaff dan Hababah Fathimah AL-Jufri) di kampung yusrain, 10 Ilir Palembang. Dalam perjalanan kebetulan turun hujan lebat dan deras. Untuk bebrapa saat beliau mengibaskan tangan beliau ke langit sambil berdoa. Ajaib, hujanpun reda.
Nama beliau adalah Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff. Sampai di akhir hayat beliau tinggal di jalan K.H. Hasyim Asy’ari No. 1 Rt 01/I, 14 Ulu Palembang. Beliau lahir di Pekalongan Jawa Tengah dan dibesarkan di Palembang. Sejak kecil beliau diasuh oleh Habib Ahmad bin Abdullah bin Thalib Al-Attas.
Uniknya, hampir setiap pagi buta, Habib Ahmad Al-Attas menjemput muridnya ke rumahnya untuk shalat subuh berjama’ah karena sangat menyaynginya. Saking akrabnya, ketika bermain-main di waktu kecil, Habib Ahmad bin Hamid Al-Kaff sering berlindung di bawah jubah Habib Ahmad Alatas. Ketika usia 7 tahun saat anak-anak lain duduk di kelas satu madrasah Ibtidaiyyah, Habib Ahmad belajar ke Tarim Hadramaut Yaman bersama sepupunya Habib Abdullah-yang akrab dipanggil Endung.
Di sana mereka berguru kepada Habib Ali Al-Habsyi. Ada sekitar 10 tahun beliau mengaji kepada sejumlah ulama besar di Tarim. Salah seorang guru beliau adalah Habib Ali Al-Habsyi, ulama besar penulis Maulid Simtuth Durar. Selama mengaji kepada Habib Ali Al-Habsyi , beliau mendapat pendidikan disiplin yang sangat keras. Misalnya sering hanya mendapatkan sarapan 3 butir kurma. Selain kepada Habib Ali , beliau juga belajar tasawuf kepada Habib Alwi bin Abdullah Shahab . sedangkan sepupu beliau Habib Endung belajar fiqih dan ilmu-ilmu alat seperti nahwu, sharaf dan balaghah. Sepulang dari Hadramaut pada usia 17 tahun . Habib Ahmad Al-Kaff menikah dengan Syarifah Aminah Binti Salim Al-Kaff . meski usianya belum genap 20 tahun namun beliau sudah mulai dikenal sebagai ulama yag menjalani kehidupan zuhud dan mubaligh yang membuka majlis ta’lim. Dua diantara murid beliau yakni Habib alwi bin Ahmad Bahsin dan Habib Syaikhan Al-gathmir belakangan dikenal pula sebagai ulama dan mubaligh.
Selain di Palembang, Habib Ahmad juga berdakwah dan mengajar di beberapa daerah di tanah air, misalnya madrasah Al-Khairiyah Surabaya. Salah seorang murid beliau yang kemudian dikenal sebagai ulama adalah habib Salim bin ahmad bin Jindan ulama terkemuka di Jakarta, yang wafat pada tahun 1969.
Empat Pertanyaan
Ketinggian ilmu dan kewalian Habib Ahmad al-Kaff diakui oleh Habib Alwi bin Muhammad Al-Haddad, ulama besar dan wali yang bermukim di Bogor. Diceritakan pada suatu hari seorang habib dari Palembang (Habib Ahmad bin Zen bin Syihab) dan rakan-rakannya menjenguk Habib Alwi, mengharap berkah dan hikmahnya.
Mengetahui bahwa tamu-tamunya dari Palembang, dengan spontan Habib Alwi berkata, “Bukankah kalian mengenal Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff ?. Buat apa kalian jauh-jauh datang ke sini, sedangkan di kota kalian ada wali yang maqam kewaliannya tidak berbeda denganku ? Saya pernah bertemu dia di dalam mimpi”. Tentu saja rombongan dari Palembang tersebut kaget. Maka Habib Alwi menceritakan perihal mimpinya. Suatu hari Habib Alwi berpikir keras bagaimana cara hijrah dari bogor untuk menghindari teror dari aparat penjajah belanda. Beliau kemudian bertawasul kepada Rasulullah SAW, dan malam harinya beliau bermimpi bertemu Rasulullah SAW memohon jalan keluar untuk masalah yang dihadapinya. Yang menarik, di sebelah Rasul duduk seorang laki-laki yang wajahnya bercahaya.
Maka Rasulullah SAW pun bersabda, “Sesungguhnya semua jalan keluar dari masalahmu ada di tangan cucuku di sebelahku ini”. Dialah Habib Habib Ahmad bin Hamid al-Kaff. Maka Habib Alwi pun menceritakan persoalan yang dihadapinya kepada Habib Ahmad al-Kaff- yang segera mengemukakan pemecahan/jalan keluarnya. Sejak itulah Habib Alwi membanggakan Habib Ahmad al-Kaff.
Sebagaimana para waliyullah yang lain, Habib Ahmad al-Kaff juga selalu mengamalkan ibada khusus. Setiap hari misalnya, Mursyid Tariqah Alawiyah tersebut membaca shalawat lebih dari 100.000 kali. Selain itu beliau juga menulis sebuah kitab tentang tatacara menziarahi guru beliau Habib Ahmad Alatas. Beliau juga mewariskakn pesan spiritual yang disebut Pesan Pertanyaan yang empat, yaitu empat pertanyaan mengenai ke mana tujuan manusia setelah meninggal.
Lahirnya empat pertanyaan tersebut bermula ketika Habib Ahmad al-Kaff diajak oleh salah seorang anggota keluarga untuk menikmati gambus. Seketika itu beliau berkata, “Aku belum hendak bersenang-senang sebelum aku tahu apakah aku akan mengucapkan kalimat tauhid di akhir hayatku. Apakah aku akan selamat dari siksa kubur, apakah timbangan amalku akan lebih berat dari dosaku, apakah aku akan selamat dari jembatan shiratal mustaqim”. Itulah yang dimaksud dengan “empat pertanyaan” yang dipesankannya kepada para murid, keluarga dan keturunannya.
Habib Ahmad al-Kaff wafat di Palembang pada 25 Jumadil akhir 1275H/1955M. Jenasah beliau dimakamkan di komplek pemakaman Telaga 60, 14 Hulu Palembang. Beliau meninggalkan lima anak: Habib Hamid, Habib Abdullah, Habib Burhan, Habib Ali dan Syarifah Khadijah.
Read more ►

Habib Hamid Naufal bin Alwy Al-Kaf: Menggemakan Maulid di Masjid Raya Bandung

0 komentar




”Lazimkanlah olehmu Kitabullah, sunnah Nabimu, serta berjalanlah engkau di jalan para pendahulumu, niscaya engkau akan beroleh hidayah dari Allah SWT.”

Putra pasangan Habib Alwi bin Ahmad Al-Kaf dan Syarifah Atikah binti Hamid bin Ahmad Al-Kaf ini punya gebrakan dakwah yang patut mendapat apresiasi: menggelar majelis Maulid Nabi SAW di Masjid Raya Bandung. Betapa tidak, langkahnya ini mungkin terasa berat, mengingat komunitas masyarakat di kota itu yang tidak seberapa familiar dengan amaliah semacam mengadakan Maulid, membaca ratib, dan semacamnya.

Tahun ini, sudah yang keempat kalinya ia berhasil menggemakan Simthud Durar di masjid kebanggaan masyarakat kota Bandung itu. Alhamdulillah, gebrakannya itu lambat laun mendapat sambutan dari berbagai pihak. Tidak hanya warga, bahkan juga sampai pihak pemerintahan kota. Aparat kepolisian setiap tahunnya juga berperan aktif dengan turut mengisi dan memeriahkan acara yang digelarnya.

Habib Naufal lahir di kota Palembang, 21 Januari 1979. Pendidikan awalnya diterimanya dari dalam keluarganya sendiri. Ayahnya mendidiknya dengan didikan dasar-dasar agama yang menjadi bekal baginya untuk melanjutkan pendidikan selanjutnya.

Memasuki usia sekolah ia masuk Madrasah Al-Haramain, yang kala itu diasuh Habib Novel bin Hamid Al-Kaf, yang masih terhitung pamannya sendiri, sepulangnya dari menuntut ilmu kepada Abuya Sayyid Muhammad bin Alwi Al-Maliki di kota Makkah. Sekarang, Habib Novel sendiri telah berdomisili di Sukabumi, menjadi pengasuh pesantren yang didirikannya, Darul Habib, di Parung Kuda, Sukabumi.

Usai menuntaskan pendidikannya di Madrasah Diniyah Al-Haramain, Palembang, sambil ikut bantu-bantu mengajar di sana, Habib Naufal menimba ilmu kepada Habib Muhammad bin Ahmad Al-Habsyi, yang kini menjadi pengasuh lembaga dakwah Al-Mawarid. Ia juga mengaji kepada kakak Habib Muhammad, yaitu Habib Ali bin Ahmad, yang di kemudian hari menjadi mertuanya.

Tahun 1997 ia memutuskan untuk hijrah ke Pulau Jawa. Awalnya, ia tinggal di kota Tangerang, tempat ayahnya. Di sana ia mulai merintis dakwahnya dan di sana pula majelisnya pertama kali berdiri. Sekitar enam tahun kemudian ia memutuskan untuk pindah ke Cikupa, Bandung. Di sinilah awal mula langkah dakwahnya hingga saat ini.

Terbitnya Cahaya Keluhuran
Majelis yang diasuh Habib Naufal, yaitu Majelis Ilmu dan Dzikir Nur ‘Alawi, berdiri sejak tahun 1998 di Tangerang, Banten.

”Majelis ini didirikan oleh ayahanda Sayyidil Walid Alhabib Alwi bin Ahmad Alkaff,” tutur Habib Hamid.

Bersama sang ayah, lewat Nur ’Alawi, ia pun membaktikan dirinya dalam medan dakwah.

Didirikannya Nur ‘Alawi tak lepas dari pandangan sang ayah, dirinya, serta sejumlah muhibbin yang dekat dengan dirinya saat melihat kerusakan moral dan akhlaq para pemuda di tempat hijrahnya itu. ”Mereka condong kepada hal-hal yang diharamkan agama, seperti minum minuman keras, berjudi…,” ujar Habib Naufal.

Melihat pemandangan yang sedemikian itu, ayah Habib Naufal berinisiatif mendirikan majelis ilmu. Dan setelah mendapat isyarah dari beberapa sesepuh dari kalangan habaib, didirikanlah Majelis Ta’lim Nur ‘Alawi, yang tepatnya berdomisili di wilayah Teluknaga, Tangerang.

Saat ditanya mengapa majelisnya ini dinamakan Nur ‘Alawy, Habib Naufal menjawab, “Nur dalam bahasa Arab bermakna ‘cahaya’, sementara ‘Alawiy dari kata ‘ulu, yaitu tinggi atau luhur. ‘Alawy juga bisa diartikan orang yang bernisbat kepada Ali. ’Alawy pun berarti anak-cucu ’Alwiy bin ’Ubaydillah, leluhur kaum Alawiyyin, yang dimakamkan di kota Hadhramaut, yang menjadi kakek moyang habaib. Kepada Alwi bin Ubaidillah inilah dinisbahkan keluarga Ba'alwiy atau Bani ’Alawy, anak keturunan Sayyidina Husain bin Ali yang masuk ke Hadhramaut.”-

Cabang di Beberapa Kota
Awalnya, majelis hanya dihadiri sekitar empat atauwww.majalah-alkisah.com lima orang. Lambat laun, karena dakwah yang mengedepankan perilaku yang baik dan akhlaq mulia, simpati masyarakat pun mulai berdatangan.

Saat pertama kali berdiri, majelis hanya membuka kegiatan ta’lim sekali dalam sepekan. Isinya pun hanya pembacaan ratib, Maulid, dan penyampaian taushiyah. Namun, melihat antusiasme masyarakat yang semakin kuat, Majelis Ta’lim Nur Alawiy kemudian secara bertahap mengadakan majelis harian, mingguan, dan bulanan. MT Nur ’Alawy juga mengadakan peringatan-peringatan hari-hari besar Islam.

Majelis rutin harian yang diadakan Nur ’Alawy adalah, setelah shalat Maghrib berjama’ah pembacaan Ratib Al-Aththas, kemudian Ratib Al-Haddad setelah shalat Isya, lalu taushiyah. Demikian pula majelis mingguannya, yang diadakan setiap malam Jum’at, juga dibacakan ratib, Maulid Nabi, dan penyampaian taushiyah.

Sementara pada majelis bulanan, yang diadakan setiap tanggal 10, dibacakan Maulid dan pengajian kitab kuning, yang biasanya dihadiri habaib dan ulama dari dalam atau luar Tangerang.
Seiring berjalannya waktu, alhamdulillah, bahkan tidak sedikit nonmuslim yang kemudian masuk Islam dan nyantri di Majelis Ta’lim Nur 'Alawiy.

Para santri Nur ‘Alawy, selain belajar dan menghafal kitab seperti Safinatunnajah dan belajar bahasa Arab,juga dididik dengan akhlaqul karimah. Diharapkan, kelak mereka tidak keluar dari majelis itu kecuali dengan iringan ilmu dan amal.

Kemudian, Nur 'Alawiy pun mulai membuka majelis bagi pemudi dan ibu-ibu, yang diberi nama “Al-Mar’atussolihah”, yang dipimpin oleh Ummi Syarifah, ibunda Habib Naufal.

Selain itu, di bawah asuhan Habib Naufal, Majelis Ta’lim Nur ‘Alawiy juga terus membuka cabang di berbagai daerah, seperti di Cikupa, Karawaci, Kampung Besar, Tangerang, sampai akhirnya pada tahun 2004 putra tertua Habib Alwiy ini menetap di daerah Bandung sekaligus menjadikan kota Bandung sebagai pusat Majelis Ta’lim Nur 'Alawiy,

Kini, untuk wilayah Tangerang, Bandung, dan sekitarnya, nama Majelis Ta’lim Nur ‘Alawiy semakin dikenal luas. Puluhan masjid di kota Bandung menjadi ramai dengan aktivitas majelis ini, khususnya Masjid Raya Bandung. Aktivitas majelis ini bahkan telah sampai ke daerah Garut, Tasikmalaya, dan sekitarnya.

Memungkasi penuturannya kepada alKisah, ayah Athiyaul Haniyyah dan Maryam Zainab Labibah, hasil pernikahannya dengan Syarifah Lulu binti Ali Al-Habsyi, ini mengutip perkataan Al-Imam Al-Haddad, “Lazimkanlah olehmu Kitabullah, sunnah Nabimu, serta berjalanlah engkau di jalan para pendahulumu, niscaya engkau akan beroleh hidayah dari Allah SWT.”

Ketiga hal yang disebutkannya itu memang harus ada dalam diri setiap muslim. Dan ketiga hal itu pula yang menjadi landasan bagi Majelis Ta’lim Nur ’Alawy dalam sepak terjang dakwahnya selama ini.
Read more ►

Selasa, 10 Juli 2012

Alkaff Yang Berlabuh Dibarabai

1 komentar
Salah satu keturunan AlKaff yang bermukim di Palembang adalah seseorang yang juga bernama Ahmad (sama seperti leluhurnya). Ahmad tetap tinggal di Palembang hingga akhir hayatnya. Anaknya yang bernama Salim dari Palembang kemudian merantau ke Tanah Banjar. Entah bagaimana ceritanya Salim kemudian menetap di Barabai. Kemungkinan besar Salim memiliki famili di Kota Apam ini. Namun, Salim kemudian ‘pulang kampung’ ke tanah kelahirannya di Palembang, dan wafat di sana.

Anak Salim yang bernama Muhammad lahir di kota sejuk yang dulu terkenal dengan sebutan Bandung van Java ini. Muhammad, dikenal dengan panggilan Habib Ci, inilah yang kemudian pindah ke Kampung Sungai Mesa, Banjarmasin.


Kampung Sungai Mesa merupakan kampung tua. Dulu di wilayah ini berdiri rumah keluarga kesultanan Banjar. Di sini pula berdiam sejumlah keluarga Sayyid (Habib) yang ada di Banjar. Antara lain dari marga Assegaf, Alaydrus, dan AlKaff.

Selain Habib Ci (Muhammad), Salim masih memiliki seorang putra bernama Abdullah. Anak-anak keturunan Abdullah saat ini juga tinggal di Banjarmasin.

Muhammad memiliki putra bernama Alwi yang juga kelahiran Barabai. Alwi (telah almarhum) memiliki istri yang juga bermarga AlKaff. Syarifah Fetum, berusia sekitar 70 tahun, kini tinggal bersama putranya yang bernama Ibrahim.

Dari jalur ayah dan ibunya, Ibrahim memiliki darah AlKaff murni. Kakek Ibrahim dari jalur ibu adalah Husin bin Hamid bin Alwi AlKaff. Hamid berasal dari Palembang yakni di wilayah 10 Ilir. Hamid datang merantau dari Palembang ke Banjarmasin.

Sehari-hari Ibrahim bersama ibunya menunggui kios kecilnya di depan rumah mereka di Sungai Mesa. Yang menarik dari karakter Ibrahim adalah ia mengatakan sesuatu apa adanya. “Ana yang haq saja,” katanya.

Mungkin karena mewarisi ke-AlKaff-an leluhurnya, Ibrahim memiliki pengetahuan yang cukup tentang persoalan tertentu seperti sejarah dan hukum. Juga ketika disinggung tentang leluhurnya yang bernama Sayyidina Ali bin Abi Thalib.

Ketika berbicara tentang Lailatul Qadar, Ibrahim menyitir ucapan Imam Ali bahwa sebaik-baiknya kedudukan adalah orang yang ikhlas. Orang yang ikhlas akan menjadi kekasih-Nya.
NB: Salim bukan pulang ke Palembang tapi tetap di Barabai. Beliau meninggal dunia di Barabai dan bermakam di Keramat Manjang. Sebelum ke Barabai, Salim tinggal di Balimbingan, Kotabaru.
Read more ►

Asal Muasal Gelar Alkaff Dan Yang Pertama Membawa Ke Indonesia

2 komentar


NAMA AlKaff pertama kali terbit dari seorang yang bernama Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Abubakar AlJufri.

Berbagai macam versi mengapa Ahmad sampai mendapat gelar AlKaff. Menurut satu keterangan, ketika Ahmad melakukan perjalanan ibadah haji ke Tanah Suci, ia mendapat rintangan di jalan. Ketika melintas di sebuah daerah berbukit, Ahmad dan rombongan jemaah haji mendapati jalan di depan mereka penuh dengan runtuhan (longsoran) batu-batu besar dari bukit. Rombongan tak dapat lewat. Tak ada anggota rombongan yang mampu menyingkirkan batu-batu besar itu, kecuali Ahmad bin Muhammad.

Versi kedua, gara-garanya suatu ketika Ahmad berhasil menaklukkan seseorang jagoan yang mempunyai kekuatan luar biasa. Kekuatan yang luar biasa itu dalam bahasa Hadramaut disebut ‘Kaf’.

Ada lagi versi yang lain tentang lahirnya gelar AlKaff. Dalam suatu berperkara di pengadilan, hakim meminta Ahmad bin Muhammad menuliskan suatu kode. Beliau kemudian menuliskan huruf Kaf, maka sejak itu masyarakat memanggilnya dengan gelar AlKaff.

Versi berikutnya, Ahmad bin Muhammad senang berdo’a menggunakan huruf yang banyak mengandung huruf Kaf.

Do’a tersebut menurut satu keterangan diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW kepada beliau lewat mimpi. Do’a itu berbunyi: “Allah yang mencukupi, telah kudapati kecukupan. Setiap perkara ada yang mencukupi dan telah mencukupi pujian semua itu dari Allah SWT.” Dari sini lantas lahir sebutan AlKaff.

Ahmad bin Muhammad AlKaff dilahirkan di Kota Tarim, Hadramaut, dikaruniai 2 orang anak lelaki bernama Abubakar dan Muhammad. Waliyullah Ahmad bin Muhammad AlKaff wafat di Tarim tahun 911 H (1491 M).

Belakangan, banyak anak keturunan Ahmad bin Muhammad AlKaff yang mampir ke Nusantara. Salah satu daerah yang paling banyak disinggahi adalah Palembang.


Kota yang terkenal dengan makanan Mpek-mpek ini pada zamannya merupakan kota transit yang sering disinggahi para saudagar dari Hadramaut dan negeri-negeri jauh lainnya.
Read more ►

Alkaff Yang Terbuang Di Ujung Kalimantan

1 komentar

Yang pertama, kami tidak berbangga hati, hanya karena sebuah keturunan, karena masih berpatokan pada yang dimaksudkan:

(inna akramakum indallahi atqakum yang paling bertaqwa diantara kalian disisi Allah adalah orang yang bertaqwa)



Read more ►

Selasa, 07 Februari 2012

Selamat Datang Di Website Resmi Keluarga Alkaff Indonesia

0 komentar
Website berikut dibat semata mata hanya untuk mempererat keluarga Alkaff Diseluruh Indonesia, Karena yang mana kita ketahui bahwa keluarga Alkaff Berasal dari satu nenek moyang yang sama ketika berlabuh ke indonesia.

Bagi Yang Ingin Biografi keluarga diposting disini, maka silahkan menghubuni Admin via email di: almuslimun001@gmail.com kirimkan ceritanya disana selengkapnya agar kami bisa memasukan dengan baik dan benar.
Read more ►
 

Copyright © Alkaff Indonesia Design by Jasa Pembuatan Website Banjarmasin | Blogger Theme by sejumput | Powered by Blogger